Saya mulai tulisan ini dengan sebuah cerita. Cerita yang mengandung harapan. Ketika pertama-tama menginjakkan kaki di Jakarta dan terdampar di bilangan Pasar Kebayoran lama. Waktu itu adzan subuh sayup-sayup terdengar di antara hiruk-piku suara para pedagang. Saya menjumpai seorang sahabat yang bekerja sebagai pengupas kelapa. Dia hanya lulusan SMA, dan sudah bertahun-tahun menjadi pengupas kelapa. Kontraannya di Cipulir, dan setiap pagi sekitar pukul 03.00, dia sudah berangkat ke pasar.
Begitu saya sampai di lapak kelapanya, saya tak
menjumpainya. Seorang pedagang bilang bahwa sahabat saya itu sedang pergi ke
mushola yang ada di dalam pasar, untuk menunaikan sholat subuh. Saya
menyusulnya sekaligus memenuhi panggilan subuh.
Bertahun lamanya tak bertemu, perjumpaan saya dengan
sahabat sedikit haru. Usai sholat subuh, kami ngobrol sebentar di luar mushola.
Cerita sana-sini hingga pada perkataannya yang masih terngiang-ngiang di telinga
saya sampai sekarang, “Mushola ini kecil, tapi yang mau datang untuk sholat,
jauh lebih kecil.”
“Sibuk melayani pembeli....?” saya coba bertanya.
Dan menjawablah dia, “Mungkin saja. Ah, seandainya
bekerja tak melalaikan sholat. Saya tak mengeluh menjadi pedagang kelapa. Jikapun
mengeluh, lebih baik saya mengadu kepada Allah. Bukankah sholat adalah kebutuhan?
Jika kita butuh, kenapa kita abaikan?”
***
Perkataan sahabat saya itu terbukti. Atas nama
pekerjaan, kesibukan, bahkan canda-tawa, tak sedikit orang lalai dari
sholatnya. Saya bertanya sendiri, kenapa harus lalai terhadap suatu perkara
yang menjadi kebutuhan sendiri? Jika api itu membakar, bukankah panasnya neraka
bisa dinetralisir dengan sholat? Ada banyak perbuatan keji dan munkar, bukankah
sholat dapat mencegahnya?
Maka, sekiranya ada orang menjalankan sholat, tetapi
perilaku dan perbuatannya rusak dan menyimpang, pasti ada masalah pada diri
orang itu, dan bukan yang salah adalah ajaran sholatnya. Malah, kitab suci
menyebutkan, sungguh celaka bagi orang yang sholat! Kok bisa? “Karena hilang
kekhusyukannya,” begitu argumen kitab suci.
Singkat kata,
sekiranya seorang muslim itu sibuk untuk memperbaiki dirinya sendiri
yakni apakah hubungannya dengan Tuhan sudah mesra atau belum, maka tentu dia akan
lalai untuk berbuat yang merusak dan menyimpang. Ada istillah “abdullah”,
maknanya “hamba Allah”. Kita sering mengaku-aku sebagai “abdullah”, sebagai
hamba Tuhan—Tetapi apakah kita yakin bahwa Tuhan mengakui punya hamba seperti
kita? Jika yakin, dengan cara apa kita bisa mendapatkan keyakinan—bahkan
jaminan—bahwa Tuhan punya hamba macam anda??
Anda yang dengan entengnya mencabik-cabik kepercayaan
dan keyakinan orang lain atas nama anda wakil Tuhan dan hamba Tuhan—adakah
bukti di tangan anda bahwa Tuhan punya wakil dan punya hamba macam anda?
Anda yang dengan mudahnya menyalah-nyalahkan,
menyesat-sesatkan, memunafik-munafikkan orang lain—adakah jaminan yang sudah
anda pegang dari Tuhan bahwa Tuhan memang merestui dan mengakui punya hamba
macam anda?
***
Sungguh aneh perilaku sebagian muslim, khususnya di Jakarta
saat ini. Gara-gara Pilkada, surga di
kapling seenak bokong sendiri. Sholatnya saja belum tentu diterima Allah, malah
masjidnya diseret-seret untuk menista orang lain. Masjid dijadikan mimbar untuk
menghujat dan mencaci orang lain. Masjid disegel spanduk untuk mencela orang
lain.
Masjid dibatasi siapa yang boleh dan siapa yang tidak
boleh menggunakannya seakan-akan Tuhan telah membubuhkan tanda-tangan-Nya agar berbuat seperti itu!!!
Kalau sekedar mengaku-aku, anak kecil pun pandai
mengaku yang paling benar, paling cantik, paling tampan. Mengaku sebagai hamba
Tuhan tak menjamin Tuhan mengakui punya hamba macam pengakuanmu itu. Terlebih, cahaya Tuhan telah menampakkan kebusukan
jiwamu bahwa di balik semburan takbir yang muncrat dari bibirmu, di balik
hujatan-makianmu, di balik aksi-aksi pembelaanmu atas nama Tuhan, sebenarnya
kau gadaikan dirimu demi dan untuk kepentingan menjatuhkan orang lain demi
kemenangan calonmu dan ngebulnya asap dapurmu....
Di Jakarta, Tuhan sejati telah lama pergi.....
Penulis : Taufiqurrahman al-Azizy
****